Aplikasi e-Government untuk Tata Kelola Yang Baik: Dari Perencanaan
Strategis SI ke Pengembangan SI.
DAFTAR ISI
1.
PENDAHULUAN............................................................................................
2. PERUMUSAN
MASALAH...............................................................................
3.
METODOLOGI..............................................................................................
1. PENDAHULUAN
Dari era industri ke era informasi, adalah lompatan besar
dalam peradaban manusia. Pada era
informasi, suatu informasi
merupakan komoditi strategis yang
dapat berperan menghidupkan
suatu perusahaan atau justru mematikannya. Globalisasi
informasi memaksa setiap insan baik
individu ataupun kelompok, baik swasta maupun pemerintah,
untuk memperhitungkan sistem
informasi yang akan diterapkan supaya tetap kompetitif di
era globalisasi.
Dalam kajian Kerangka Teknologi
Informasi Nasional (National IT Framework)
yang
dilakukan baru‐baru ini, salah satu pilar yang segera harus dibentuk adalah Electronic
Government (EGovernment) for Good
Governance [BAP01] dengan tujuan dapat
mempercepat terbentuknya suatu
pelaksanaan pemerintahan yang baik, efisien,
dan
efektif. Walaupun kata‐kata EGovernment sudah sering diseminarkan dan didiskusikan,
tetapi di berbagai kalangan akademis, pengusaha, dan bahkan pemerintah mempunyai
pemahaman yang berbeda mengenai
EGovernment [HAS01]. Secara sederhana Heeks
dalam [HAS01] mendefinisikan EGovernment sebagai berikut:
“Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan
menggunakan
Teknologi Informasi (TI) untuk memberikan layanan kepada
masyarakat”.
Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tujuan utama EGovernment adalah meningkatkan
efisiensi dan kualitas layanan.
Menurut Heeks, hampir semua lembaga
pemerintah di
dunia ini, mengalami
ketidakefisienan, terutama di negara yang
sedang berkembang.
Pungutan liar, pemasukan dan
pengeluaran uang yang tidak dilaporkan,
antrian
masyarakat di pusat‐pusat layanan
publik, dan lain‐lain, merupakan beberapa
wujud
ketidakefisienan tersebut, dimana banyak sekali resources yang terbuang percuma.
Lebih rinci lagi, Agarwal dalam [HAS01] membagi pengertian EGovernment ke dalam
lima tingkatan, yang semakin tinggi
tingkatannya, semakin kompleks permasalahan
yang akan dihadapi.
1. Tingkatan yang paling awal adalah apa yang disebut dengan EGovernment untuk
menunjukkan “wajah” pemerintah yang
baik dan menyembunyikan
kompleksitas yang ada di dalamnya. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai
web site yang cantik pada hampir semua institusi pemerintah. Pada dasarnya, E
Government tingkat awal ini masih bersifat menginformasikan tentang apa dan
siapa yang berada di dalam institusi tersebut. Dengan kata lain, informasi yang
diberikan kepada masyarakat luas,
masih bersifat satu arah. Kondisi E
Government yang masih berada pada tahap awal ini belum bisa digunakan untuk
membentuk suatu pemerintahan dengan Good Governance.
2. Tingkat kedua dari EGovernment, mulai ditandai dengan adanya transaksi dan
interaksi secara online antara suatu institusi pemerintah dengan masyarakat.
Misalnya, masyarakat tidak perlu
lagi antri membayar tagihan listrik,
memperpanjang KTP, dan lain‐lain.
Semuanya dapat dilakukan secara online.
Usaha ke arah ini sudah mulai dilakukan oleh beberapa institusi dipusat maupun
di daerah. Kabupaten Takalar merupakan salah satu contoh daerah yang sudah
mulai menerapkan layanan satu atap terhadap masyarakatnya. Komunikasi dua‐
arah antara institusi pemerintah dengan masyarakat sudah mulai terjalin secara
online.
3. Level ketiga dari EGovernment, memerlukan kerja sama (kolaborasi) secara
online antar beberapa institusi dan masyarakat. Apabila masyarakat sudah
bisa mengurus perpanjangan KTP‐nya
secara online, selanjutnya mereka tidak
perlu lagi melampirkan KTP‐nya
untuk mengurus Pasport atau membuat SIM.
Dalam hal ini perlu kerja sama antara Kantor Kelurahan yang mengeluarkan KTP
dengan Kantor Imigrasi yang
mengeluarkan Pasport atau Kantor Polisi
yang
mengeluarkan SIM.
4. Level keempat dari EGovernment sudah semakin kompleks. Bukan hanya
memerlukan kerja sama antarinstitusi dan masyarakat, tetapi juga menyangkut
arsitektur teknis yang semakin
kompleks. Dalam level ini, seseorang bisa
mengganti informasi yang menyangkut dirinya hanya dengan satu klik, dan
pergantian tersebut secara otomatis
berlaku untuk setiap institusi pemerintah
yang terkait. Misalnya, seseorang
yang pindah alamat, dia cukup mengganti
alamatnya tersebut dari suatu
database milik pemerintahan yang besar, dan
secara otomatis KTP, SIM, Pasport dan lain‐lainnya ter‐update.
5. Level kelima, dimana pemerintah sudah memberikan informasi yang terpaket
(packaged information) sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini,
pemerintah sudah bisa memberikan apa yang disebut dengan “informationpush”
yang berorientasi kepada masyarakat. Masyarakat benar‐benar seperti raja yang
dilayani oleh pemerintah. Apa
saja yang menjadi kebutuhan masyarakat, E
Government pada level lima ini mampu menyediakannya.
Disamping itu Forman mendefinisikan EGovernment berdasarkan interaksi
penggunanya sebagai berikut [FOR01]:
•
G2C (Government to Citizen), EGovernment
yang diperuntukkan bagi layanan
publik kepada masyarakat.
•
G2B (Government to Business), EGovernment yang diperuntukkan bagi kalangan
bisnis, mengurangi birokrasi dalam usaha.
•
G2G (Government to Government),
EGovernment yang diperuntukkan untuk
meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar instansi pemerintah.
Dari hasil survei oleh [WIN03] terhadap 36 situs web yang mendapatkan penghargaan
E-
Government Award 2003
yang diadakan oleh
Warta Ekonomi No
22/XIV/25 September
2002, diperoleh kesimpulan bahwa 99,99% situs web yang
diklaim sebagai bentuk aplikasi E-
Government baru sampai pada tingkat awal yaitu penampakan
“wajah” pemerintah Dati I dan
II. Informasi “satu
arah” yang ditampilkan sangat bervariasi, sehingga sulit dilihat tingkat
kemanfaatan
situs-situs tersebut untuk
melakukan koordinasi maupun
untuk pelayanan
masyarakat.
Sementara itu, di beberapa negara Eropa dan Amerika sudah mulai menerapkan
E Government pada level keempat, dimana mereka hanya mengumpulkan cukup sekali
saja informasi mengenai masyarakatnya [FOR02, MOO00, JAC01, WIM01]. Salah satu
penerapan EGovernment yang bisa
mencakup pengertian menurut [HAS01] dan
[FOR01] adalah penerapan sistem
kependudukan. Permasalahan kependudukan
merupakan salah satu isu yang dapat memanfaatkan konsep EGovernment. Beberapa
negara Eropa dan Asia seperti Inggris, Austria, dan Singapura telah menerapkan sistem
EGovernment untuk melayani kebutuhan penduduknya [FIS01, AIC01, ANO01, MOO00].
Seperti halnya di negara lain,
di Indonesia juga menghadapi masalah
kependudukan
yang cukup kompleks. Departemen
Dalam Negeri (Depdagri), Badan Pusat
Statistik
(BPS), Komisis Pemilihan Umum
(KPU), dan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana
(BKKBN)adalah antara lain merupakan
instansi‐instansi yang melakukan pendataan
penduduk di Indonesia. Namun data yang dikumpulkan masih banyak yang merupakan
hasil perhitungan proyeksi dan bersifat agregasi [DAR01]. Kelengkapan dan konsistensi
datanya juga sangat diragukan
karena bisa saja seseorang terdata dan tercatat
lebih
dari satu kali di daerah yang berbeda yang disebabkan lemahnya koordinasi di dalam
lembaga yang melakukan pendataan tersebut. Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah
adanya perbedaan data yang didapat oleh instansi‐instansi yang berwenang melakukan
pendataan, ini dikarenakan
metode yang digunakan untuk melakukan
pendataan
penduduk pada setiap instansi berbeda‐beda. BPS misalnya, melakukan sensus setiap
sepuluh tahun sekali. Namun
dalam interval waktu tersebut, data yang berhasil
dikumpulkan masih sulit menjangkau
daerah‐daerah terpencil. Sedangkan Depdagri
melakukan pendataan penduduk melalui
SISKOMDAGRI. Komisi Pemilihan Umum
(KPU) baru baru ini melakukan
sensus penduduk pemilih. Sensus untuk
pemilih ini
dilakukan 5 tahun sekali.
Berbagai instansi lain seperti Departemen
Pendidikan
Nasional (Depdiknas), Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans),
dan Departemen Sosial (Depsos)
juga memerlukan data kependudukan. Instansi‐
instansi tersebut akan mengalami kesulitan dalam menentukan program kerjanya jika
tidak didukung oleh data kependudukan yang akurat. Akan sulit bagi Depdiknas untuk
merencanakan program wajib belajar jika tidak ada data yang akurat mengenai jumlah
penduduk usia sekolah.
Basisdata kependudukan yang ada pada saat ini belum siap pakai dan tidak memenuhi
kebutuhan setiap instansi. Untuk memenuhi kebutuhan setiap instansi, mereka masih
menggunakan basisdata masing‐masing. Jadi basisdata yang ada belum terintegrasi dan
tidak mencerminkan data penduduk secara keseluruhan, yang dapat digunakan secara
bersama‐sama [ZUL02].
Selain itu proses penduduk
yang ingin mendapatkan layanan yang
berkaitan dengan
dokumen kependudukannya juga tidak
efisien. Penduduk harus datang ke kantor
instansi yang bersangkutan untuk mengurus dokumen yang mereka butuhkan, belum
lagi terhalangani oleh birokrasi di instansi tersebut.
Oleh karena itu
diperlukan suatu sistem informasi (EGovernment)
yang bersifat
permanen yang mampu melakukan
proses registrasi penduduk, berisikan basisdata
kependudukan yang terintegrasi yang dapat memenuhi kebutuhan setiap instansi dan
siap pakai setiap saat. Setiap instansi dapat menggunakan basisdata kependudukan ini
secara bersama‐sama untuk kebutuhan yang berbeda. Disamping itu sistem informasi
ini juga dapat dimanfaatkan
untuk melayani penduduk yang membutuhkan
dokumen
kependudukannya. Penelitian ini
bertujuan untuk meneliti dan merancang
serta
berusaha mengimplementasikan sistem informasi kependudukan di Indonesia dengan
mempelajari pengalaman negara‐negara lain yang telah menerapkan sistem tersebut. E
Government yang dikembangkan ini diharapkan termasuk paling tidak pada level ketiga
dari penggolongan EGovernment menurut Agarwal diatas.
instansi yang bersangkutan untuk mengurus dokumen yang mereka butuhkan, belum
instansi yang bersangkutan untuk mengurus dokumen yang mereka butuhkan, belum
lagi terhalangani oleh birokrasi di instansi tersebut.
Oleh karena itu diperlukan
suatu sistem informasi (EGovernment) yang
bersifat
permanen yang mampu melakukan
proses registrasi penduduk, berisikan basisdata
kependudukan yang terintegrasi yang dapat memenuhi kebutuhan setiap instansi dan
siap pakai setiap saat. Setiap instansi dapat menggunakan basisdata kependudukan ini
secara bersama‐sama untuk kebutuhan yang berbeda. Disamping itu sistem informasi
ini juga dapat dimanfaatkan
untuk melayani penduduk yang membutuhkan
dokumen
kependudukannya. Penelitian ini
bertujuan untuk meneliti dan merancang
serta
berusaha mengimplementasikan sistem informasi kependudukan di Indonesia dengan
mempelajari pengalaman negara‐negara lain yang telah menerapkan sistem tersebut. E
Government yang dikembangkan ini diharapkan termasuk paling tidak pada level ketiga
dari penggolongan EGovernment menurut Agarwal diatas.
2. PERUMUSAN MASALAH
Dari uraian pada bagian pendahuluan terlihat bahwa masalah yang sering dihadapi oleh
institusi dalam penerapan sistem informasi e‐Government di Indonesia adalah:
- Inisiatif TI masih terpencar, akibatnya pemborosan
Dalam penerapan e-Government,
masih banyak instansi
pemerintah yang berpikir,
setelah
menentukan
critical success factors,
masing-masing bagian atau
departemen langsung
membuat strateginya masing-masing kemudian dirinci menjadi
kegiatan yang bersifat taktis
operasional.
Salah satunya pengadaan
perangkat teknologi informasi
yang bila tidak
dilakukan secara terintegrasi,
kemungkinan pemborosan anggaran
sangat tinggi. Padahal
hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan investasi yang
telah dikeluarkan.
- Lack koordinatif
Setiap instansi memiliki keinginan yang berbeda-beda dalam
penerapan sistem informasi.
Tidak terjalinnya koodinasi yang baik antar instansi
mengakibatkan pelaksanaan penerapan
sistem informasi dan teknologi informasi tidak berjalan
dengan efektif. Karena masing-
masing berjalan sendiri tanpa interaksi antar satu bagian
dengan bagian lainnya.
- Lack detail requirement
Keinginan yang terlalu umum mengakibatkan hasil yang
didapatkan tidak spesifik. Karena
pada awalnya produk
atau jasa yang
diinginkan tidak begitu
jelas, sehingga setiap
individu/departemen
yang terlibat tidak
tahu persis hasil
apa yang diinginkan
sebagai
keluaran dari suatu
proyek aplikasi e-Government.
Disamping itu juga,
manfaat yang
seharusnya didapatkan oleh masyarakat (users) secara
signifikan tidak dapat dipenuhi.
- Lack political support
Dukungan secara politik sangat mempengaruhi
berhasil-tidaknya suatu penerapan aplikasi
sistem informasi. Pada kenyataannya suasana politik,
terutama yang berkaitan dengan:
dukungan dan alokasi anggaran, yang lemah dalam setiap
rencana penerapan sistem
informasi.
- Lack of awareness
Kurangnya
kepedulian terhadap keberhasilan
e-Government. Pemimpin yang bertanggung
jawab dalam penerapan
e-Government terkadang kurang
memahami kepentingan dari
masing-masing
stakeholder yang ada
dan tidak mau
mencoba melakukan kolaborasi
agar
seluruh
perbedaan kepentingan yang
dimaksud dapat menuju
kepada satu arah
pencapaian
visi dan misi e-Government (konvergensi). Setiap pemimpin
yang bertanggung jawab dalam
pengembangan
e-Government harus memahami
bahwa pihak-pihak yang
dianggap sebagai
stakeholder
utama dalam proyek
e-Government antara lain:
pemerintah (lembaga terkait
dengan seluruh perangkat
manajemen dan karyawannya),
sektor swasta, masyarakat,
lembaga-lembaga
swadaya masyarakat, perusahaan,
dan lain sebagainya.
Terlepas dari
bermacam ragamnya stakehoder yang ada, yang sering
terlupakan bahwa pada akhirnya yang
akan merasakan manfaat
atau berhasil tidaknya
e-Government yang dilaksanakan
adalah
pelanggan.
- Lack leadership
Faktor kepemimpinan biasanya melekat pada setiap orang yang
bertanggung jawab sebagai
pemimpin dari penyelenggaraan suatu penerapan sistem
informasi. Namun masih banyak
kelemahan dalam hal mengelola:
• Beragam tekanan
politik yang terjadi terhadap penerapan aplikasi e-Government baik
dari kalangan yang optimis maupun yang pesimis;
• Kurangnya sumber
daya yang dibutuhkan,
seperti misalnya sumber
daya manusia,
finansial, informasi, peralatan, fasilitas, dan
• Sejumlah
kepentingan dari berbagai kalangan (stakeholders) terhadap e-Government
yang sedang atau akan dilaksanakan.
3. METODOLOGI
• Kurangnya sumber daya yang dibutuhkan, seperti misalnya sumber daya manusia,
3. METODOLOGI
• Kurangnya sumber daya yang dibutuhkan, seperti misalnya sumber daya manusia,
finansial, informasi, peralatan, fasilitas, dan
• Sejumlah
kepentingan dari berbagai kalangan (stakeholders) terhadap e-Government
yang sedang atau akan dilaksanakan.
3. METODOLOGI
1. Identifikasi masalah
Pada tahap ini
dilakukan identifikasi terhadap
permasalahan yang ada.
Dari
permasalahan
tersebut akan dicoba
dibuat hipotesis, kemudian
dilakukan penelitian
dan uji coba
untuk membuktikan hipotesis
tersebut. Permasalahan yang
telah
diidentifikasi
sampai saat ini
dapat dilihat pada
bagian perumusan masalah.
Sedangkan hipotesis penelitian dapat dilihat pada bagian
hipotesis dan manfaat diatas.
2. Pengumpulan data
dan sumber pendukung (literatur)
Pengumpulan literatur yang mendukung
penelitian dilakukan pada tahap ini.
Literatur‐literatur diambil dari
penelitian‐penelitian sebelumnya maupun dari
jurnal‐jurnal ilmiah, baik dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu Literatur
yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah tulisan mengenai EGovernment
yang ditulis oleh Hasibuan
[HAS01]. Sedangkan literatur lainnya berkaitan
dengan EGovernmen dan khususnya mengenai
kependudukan, seperti “Grand
Design Sistem Informasi KPU”, “National IT Framework”, “Strategi EGovernment”
di Amerika Serikat serta
penerapan E‐Government di beberapa negara
Eropa
[BAP01, FOR02, VIL01, KPU02, WAT01, TAM01, FIS01, MOO00, AIC01, WIM01].
Adapun data yang dipergunakan sebagai sampel untuk penelitian, akan diambil
dari BPS yang merupakan data penduduk hasil sensus. Data propinsi DKI Jakarta
akan digunakan untuk simulasi pada skala kecil.
3. Analisis Kebutuhan,
Perancangan, dan Implementasi
Pada tahap ini akan dilakukan proses analisa kebutuhan sistem, perancangan
serat
implementasi terhadap sistem yang akan dikembangkan. Hal‐hal yang dilakukan
meliputi:
Rancangan
Arsitektur Sistem (Architecture System)
Rancangan Format Data Masukan atau Form‐form Kependudukan
Rancangan Relasi antar entitas (Entity Relationship) basis data
Rancangan Diagram alur proses dan data sistem (Data Flow Diagram)\
Rancangan Antar muka pemakai (User Interface)
4. Analisis dan Uji
Coba Sistem
Setelah dilakukan perancangan dan
sistem diimplementasikan, kemudian akan
dilakukan tahapan uji coba. Uji coba direncanakan dilakukan dalam dua tahap.
Pertama uji coba internal,
dimana sistem akan diujicobakan dalam
lingkungan
terbatas dan sebagai tester‐nya adalah tim pengembang sendiri. Data‐data yang
digunakan pada tahap uji coba
tersebut merupakan data propinsi DKI
Jakarta
yang diperoleh dari BPS.
Selanjutnya dilakukan integrasi data dari
beberapa
propinsi. Kemudian pada tahapan
kedua, dilakukan uji coba eksternal, dimana
sistem akan diuji cobakan pada salah satu instansi yang ada, misalnya kelurahan
tertentu, dan sebagai tester‐nya
adalah pihak dari instansi tersebut.
Setelah
diujicobakan maka dilakukan proses
analisa kembali apakah sistem yang
dibangun sesuai dengan kebutuhan,
untuk kemudian dilakukan proses
perbaikan.
5. Pembuatan Paket
Sistem (Installer)
Setelah sistem diimplementasikan, dan diuji coba maka
langkah selanjutnya adalah
membuat paket installer
dari sistem tersebut
sehingga sistem dapat
digunakan atau
diinstall di tempat lain dengan mudah.
Tahapan 3,
4 dan 5
merupakan tahapan yang
erat kaitannya dengan
pengembangan
perangkat lunak. Untuk pengembangan perangkat lunak
tersebut, kami gunakan metodologi
FAST yang cukup
banyak digunakan dalam
pengembangan suatu aplikasi.
Adapun
tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut:
- Investigasi awal: pada tahap ini ditentukan ruang lingkup dari proyek, batasan-batasan,
partisipan, biaya dan jadwal. Tahap ini bertujuan untuk
menilai kelayakan dari proyek
tersebut.
- Analisa: pada tahap ini dilakukan analisa permasalahan baik dari segi bisnis dan
tersebut.
- Analisa: pada tahap ini dilakukan analisa permasalahan baik dari segi bisnis dan
teknologi, yaitu dengan mengidentifikasi permasalahan dan
sebab-akibatnya. Dari tahap
analisa ini akan diperoleh peluang-peluang yang mungkin dan
juga arahan. Beberapa
hal yang dilakukan
dalam tahap ini
antara lain: studi
ruang lingkup permasalahan,
analisa masalah dan peluang, analisa proses bisnis, serta
penyajian temuan-temuan dan
rekomendasi.
- Analisa kebutuhan: Pada tahap ini dilakukan analisa kebutuhan dari sistem yang akan
dibuat, yang meliputi tujuan pengembangan sistem dan
prioritas-prioritas requirements
sehingga menghasilkan suatu pernyataan business requirements
system.
- Analisa keputusan: pada tahap ini dilakukan analisa mengenai solusi teknis yang
diperkirakan bisa mengatasi permasalahan sekaligus memenuhi
business requirements.
Hal tersebut akan digunakan untuk merancang dan
mengimplementasikan sistem yang
memenuhi segala requirements tersebut.
- Perancangan: pada tahap ini dilakukan perancangan sistem dari segi teknologi. Hasil
tahap ini adalah berupa model data, model proses, dan model
antar muka.
- Konstruksi: pada tahap ini akan dilakukan konstruksi sistem, yang terdiri dari
konstruksi basis data dan antar muka serta uji coba terhadap
sistem. Tahap konstruksi
menghasilkan aplikasi yang siap dijalankan dan memenuhi
semua kebutuhan yang ingin
dicapai.
- Implementasi/operasionalisasi: tahap ini nantinya akan dijalankan oleh pemakai dari
aplikasi yang dikembangkan.