Outline Penulisan ilmiah

Selasa, 21 Januari 2014

Aplikasi e-Government untuk Tata Kelola Yang Baik: Dari Perencanaan
Strategis SI ke Pengembangan SI.

DAFTAR ISI

1.  PENDAHULUAN............................................................................................ 
2.  PERUMUSAN MASALAH...............................................................................  
3.  METODOLOGI..............................................................................................   

 

1. PENDAHULUAN

Dari era industri ke era informasi, adalah lompatan besar dalam peradaban manusia. Pada era
informasi,  suatu  informasi  merupakan  komoditi  strategis  yang  dapat  berperan  menghidupkan
suatu perusahaan atau justru mematikannya. Globalisasi informasi memaksa setiap insan baik
individu ataupun kelompok, baik swasta maupun pemerintah, untuk memperhitungkan sistem
informasi yang akan diterapkan supaya tetap kompetitif di era globalisasi. 

Dalam  kajian  Kerangka  Teknologi  Informasi  Nasional  (National  IT  Framework)  yang 
dilakukan baru‐baru ini, salah satu pilar yang segera harus dibentuk adalah Electronic 
Government  (E­Government)  for  Good  Governance  [BAP01]  dengan  tujuan  dapat 
mempercepat  terbentuknya  suatu  pelaksanaan  pemerintahan  yang  baik,  efisien,  dan 
efektif. Walaupun kata‐kata E­Government sudah sering diseminarkan dan didiskusikan, 
tetapi di berbagai kalangan akademis, pengusaha, dan bahkan pemerintah mempunyai 
pemahaman  yang  berbeda  mengenai  E­Government  [HAS01].  Secara  sederhana  Heeks 
dalam [HAS01] mendefinisikan E­Government sebagai berikut: 

“Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan 
Teknologi Informasi (TI) untuk memberikan layanan kepada masyarakat”.

Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tujuan utama E­Government adalah meningkatkan 
efisiensi  dan  kualitas  layanan.  Menurut  Heeks,  hampir  semua  lembaga  pemerintah  di 
dunia  ini,  mengalami  ketidakefisienan,  terutama  di  negara  yang  sedang  berkembang. 
Pungutan  liar,  pemasukan  dan  pengeluaran  uang  yang  tidak  dilaporkan,  antrian 
masyarakat  di  pusat‐pusat  layanan  publik,  dan  lain‐lain,  merupakan  beberapa  wujud 
ketidakefisienan tersebut, dimana banyak sekali resources yang terbuang percuma. 
     

Lebih rinci lagi, Agarwal dalam [HAS01] membagi pengertian E­Government ke dalam 
lima  tingkatan,  yang  semakin  tinggi  tingkatannya,  semakin  kompleks  permasalahan 
yang akan dihadapi. 

1.  Tingkatan yang paling awal adalah apa yang disebut dengan E­Government untuk 
menunjukkan  “wajah”  pemerintah  yang  baik  dan  menyembunyikan 
kompleksitas yang ada di dalamnya. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai 
web site yang cantik pada hampir semua institusi pemerintah. Pada dasarnya, E­
Government  tingkat awal ini masih bersifat menginformasikan tentang apa dan 
siapa yang berada di dalam institusi tersebut. Dengan kata lain, informasi yang 
diberikan  kepada  masyarakat  luas,  masih  bersifat  satu  arah.  Kondisi  E­
Government yang masih berada pada tahap awal ini belum bisa digunakan untuk 
membentuk suatu pemerintahan dengan Good Governance. 

2.  Tingkat kedua dari E­Government, mulai ditandai dengan adanya transaksi dan 
interaksi secara online antara suatu institusi pemerintah dengan masyarakat. 
Misalnya,  masyarakat  tidak  perlu  lagi  antri  membayar  tagihan  listrik, 
memperpanjang  KTP,  dan  lain‐lain.  Semuanya  dapat  dilakukan  secara  online. 
Usaha ke arah ini sudah mulai dilakukan oleh beberapa institusi dipusat maupun 
di daerah. Kabupaten Takalar merupakan salah satu contoh daerah yang sudah 
mulai menerapkan layanan satu atap terhadap masyarakatnya. Komunikasi dua‐
arah antara institusi pemerintah dengan masyarakat sudah mulai terjalin secara 
online.  

3.  Level ketiga dari E­Government, memerlukan kerja sama (kolaborasi) secara 
online antar beberapa institusi dan masyarakat. Apabila masyarakat sudah 
bisa  mengurus  perpanjangan  KTP‐nya  secara  online,  selanjutnya  mereka  tidak 
perlu  lagi  melampirkan  KTP‐nya  untuk  mengurus  Pasport  atau  membuat  SIM. 
Dalam hal ini perlu kerja sama antara Kantor Kelurahan yang mengeluarkan KTP 
dengan  Kantor  Imigrasi  yang  mengeluarkan  Pasport  atau  Kantor  Polisi  yang 
mengeluarkan SIM.  

4.  Level  keempat  dari  E­Government  sudah  semakin  kompleks.  Bukan  hanya 
memerlukan kerja sama antarinstitusi dan masyarakat, tetapi juga menyangkut 
arsitektur  teknis  yang  semakin  kompleks.  Dalam  level  ini,  seseorang  bisa 
mengganti informasi yang menyangkut dirinya hanya dengan satu klik, dan 
pergantian  tersebut  secara  otomatis  berlaku  untuk  setiap  institusi  pemerintah 
yang  terkait.  Misalnya,  seseorang  yang  pindah  alamat,  dia  cukup  mengganti 
alamatnya  tersebut  dari  suatu  database  milik  pemerintahan  yang  besar,  dan 
secara otomatis KTP, SIM, Pasport dan lain‐lainnya ter‐update. 

5.  Level kelima, dimana pemerintah sudah memberikan informasi yang terpaket 
(packaged  information)  sesuai  dengan  kebutuhan  masyarakat.  Dalam  hal  ini, 
pemerintah sudah bisa memberikan apa yang disebut dengan “information­push” 
yang berorientasi kepada masyarakat. Masyarakat benar‐benar seperti raja yang 
dilayani  oleh  pemerintah.  Apa  saja  yang  menjadi  kebutuhan  masyarakat,  E­
Government pada level lima ini mampu menyediakannya. 


Disamping  itu  Forman  mendefinisikan  E­Government  berdasarkan  interaksi 
penggunanya sebagai berikut [FOR01]: 
  G2C  (Government  to  Citizen),  E­Government  yang  diperuntukkan  bagi  layanan 
publik kepada masyarakat. 
  G2B (Government to Business), E­Government yang diperuntukkan bagi kalangan 
bisnis, mengurangi birokrasi dalam usaha. 
  G2G  (Government  to  Government),  E­Government  yang  diperuntukkan  untuk 
meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar instansi pemerintah. 
Dari hasil survei oleh [WIN03] terhadap 36 situs web yang mendapatkan penghargaan E-
Government  Award  2003  yang  diadakan  oleh  Warta  Ekonomi  No  22/XIV/25  September
2002, diperoleh kesimpulan bahwa 99,99% situs web yang diklaim sebagai bentuk aplikasi E-
Government baru sampai pada tingkat awal yaitu penampakan “wajah” pemerintah Dati I dan
II.   Informasi “satu arah” yang ditampilkan sangat bervariasi, sehingga sulit dilihat tingkat
kemanfaatan  situs-situs  tersebut  untuk  melakukan  koordinasi  maupun  untuk  pelayanan
masyarakat. 

             Sementara  itu,  di  beberapa  negara  Eropa  dan  Amerika  sudah  mulai  menerapkan 
E­ Government  pada  level  keempat,  dimana  mereka  hanya  mengumpulkan  cukup  sekali 
saja informasi mengenai masyarakatnya [FOR02, MOO00, JAC01, WIM01].  Salah satu 
penerapan  E­Government  yang  bisa  mencakup  pengertian  menurut  [HAS01]  dan 
[FOR01]  adalah  penerapan  sistem  kependudukan.    Permasalahan  kependudukan 
merupakan salah satu isu yang dapat memanfaatkan konsep E­Government. Beberapa 
negara Eropa dan Asia seperti Inggris, Austria, dan Singapura telah menerapkan sistem 
E­Government untuk melayani kebutuhan penduduknya [FIS01, AIC01, ANO01, MOO00]. 
   


Seperti  halnya  di  negara  lain,  di  Indonesia  juga  menghadapi  masalah  kependudukan 
yang  cukup  kompleks.  Departemen  Dalam  Negeri  (Depdagri),  Badan  Pusat  Statistik 
(BPS),  Komisis  Pemilihan  Umum  (KPU),  dan  Badan  Koordinasi  Keluarga  Berencana 
(BKKBN)adalah  antara  lain  merupakan  instansi‐instansi  yang  melakukan  pendataan 
penduduk di Indonesia. Namun data yang dikumpulkan masih banyak yang merupakan 
hasil perhitungan proyeksi dan bersifat agregasi [DAR01]. Kelengkapan dan konsistensi 
datanya  juga  sangat  diragukan  karena  bisa  saja  seseorang  terdata  dan  tercatat  lebih 
dari satu kali di daerah yang berbeda yang disebabkan lemahnya koordinasi di dalam 
lembaga yang melakukan pendataan tersebut. Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah 
adanya perbedaan data yang didapat oleh instansi‐instansi yang berwenang melakukan 
pendataan,  ini    dikarenakan  metode  yang  digunakan  untuk  melakukan  pendataan 
penduduk pada setiap instansi berbeda‐beda. BPS misalnya, melakukan sensus setiap 
sepuluh  tahun  sekali.  Namun  dalam  interval  waktu  tersebut,  data  yang  berhasil 
dikumpulkan  masih  sulit  menjangkau  daerah‐daerah  terpencil.  Sedangkan  Depdagri 
melakukan  pendataan  penduduk  melalui  SISKOMDAGRI.  Komisi  Pemilihan  Umum 
(KPU)  baru  baru  ini  melakukan  sensus  penduduk  pemilih.    Sensus  untuk  pemilih  ini 
dilakukan  5  tahun  sekali.  Berbagai  instansi  lain  seperti  Departemen  Pendidikan 
Nasional  (Depdiknas),  Departemen  Tenaga  Kerja  dan  Transmigrasi  (Depnakertrans), 
dan  Departemen  Sosial  (Depsos)  juga  memerlukan  data  kependudukan.  Instansi‐
instansi tersebut akan mengalami kesulitan dalam menentukan program kerjanya jika 
tidak didukung oleh data kependudukan yang akurat. Akan sulit bagi Depdiknas untuk 
merencanakan program wajib belajar jika tidak ada data yang akurat mengenai jumlah 
penduduk usia sekolah.  

Basisdata kependudukan yang ada pada saat ini belum siap pakai dan tidak memenuhi 
kebutuhan setiap instansi. Untuk memenuhi kebutuhan setiap instansi, mereka masih 
menggunakan basisdata masing‐masing. Jadi basisdata yang ada belum terintegrasi dan 
tidak mencerminkan data penduduk secara keseluruhan, yang dapat digunakan secara 
bersama‐sama [ZUL02]. 

Selain  itu  proses  penduduk  yang  ingin  mendapatkan  layanan  yang  berkaitan  dengan 
dokumen  kependudukannya  juga  tidak  efisien.  Penduduk  harus  datang  ke  kantor 
 instansi yang bersangkutan untuk mengurus dokumen yang mereka butuhkan, belum 
lagi terhalangani oleh birokrasi di instansi tersebut. 

Oleh  karena  itu  diperlukan  suatu  sistem  informasi  (E­Government)  yang  bersifat 
permanen  yang  mampu  melakukan  proses  registrasi  penduduk,  berisikan  basisdata 
kependudukan yang terintegrasi yang dapat memenuhi kebutuhan setiap instansi dan 
siap pakai setiap saat. Setiap instansi dapat menggunakan basisdata kependudukan ini 
secara bersama‐sama untuk kebutuhan yang berbeda. Disamping itu sistem informasi 
ini  juga  dapat  dimanfaatkan  untuk  melayani  penduduk  yang  membutuhkan  dokumen 
kependudukannya.  Penelitian  ini  bertujuan  untuk  meneliti  dan  merancang  serta 
berusaha mengimplementasikan sistem informasi kependudukan di Indonesia dengan 
mempelajari pengalaman negara‐negara lain yang telah menerapkan sistem tersebut. E­
Government yang dikembangkan ini diharapkan termasuk paling tidak pada level ketiga 
dari penggolongan E­Government menurut Agarwal diatas.
instansi yang bersangkutan untuk mengurus dokumen yang mereka butuhkan, belum 
lagi terhalangani oleh birokrasi di instansi tersebut. 

Oleh  karena  itu  diperlukan  suatu  sistem  informasi  (E­Government)  yang  bersifat 
permanen  yang  mampu  melakukan  proses  registrasi  penduduk,  berisikan  basisdata 
kependudukan yang terintegrasi yang dapat memenuhi kebutuhan setiap instansi dan 
siap pakai setiap saat. Setiap instansi dapat menggunakan basisdata kependudukan ini 
secara bersama‐sama untuk kebutuhan yang berbeda. Disamping itu sistem informasi 
ini  juga  dapat  dimanfaatkan  untuk  melayani  penduduk  yang  membutuhkan  dokumen 
kependudukannya.  Penelitian  ini  bertujuan  untuk  meneliti  dan  merancang  serta 
berusaha mengimplementasikan sistem informasi kependudukan di Indonesia dengan 
mempelajari pengalaman negara‐negara lain yang telah menerapkan sistem tersebut. E­
Government yang dikembangkan ini diharapkan termasuk paling tidak pada level ketiga 
dari penggolongan E­Government menurut Agarwal diatas. 

2. PERUMUSAN MASALAH

Dari uraian pada bagian pendahuluan terlihat bahwa masalah yang sering dihadapi oleh 
institusi dalam penerapan sistem informasi e‐Government  di Indonesia adalah: 

- Inisiatif TI masih terpencar, akibatnya pemborosan
Dalam  penerapan  e-Government,  masih  banyak  instansi  pemerintah  yang  berpikir,  setelah
menentukan  critical  success  factors,  masing-masing  bagian  atau  departemen  langsung
membuat strateginya masing-masing kemudian dirinci menjadi kegiatan yang bersifat taktis
operasional.  Salah  satunya  pengadaan  perangkat  teknologi  informasi  yang  bila  tidak
dilakukan  secara  terintegrasi,  kemungkinan  pemborosan  anggaran  sangat  tinggi.  Padahal
hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan investasi yang telah dikeluarkan.

- Lack koordinatif
Setiap instansi memiliki keinginan yang berbeda-beda dalam penerapan sistem informasi.
Tidak terjalinnya koodinasi yang baik antar instansi mengakibatkan pelaksanaan penerapan
sistem informasi dan teknologi informasi tidak berjalan dengan efektif. Karena masing-
masing berjalan sendiri tanpa interaksi antar satu bagian dengan bagian lainnya.

- Lack detail requirement
Keinginan yang terlalu umum mengakibatkan hasil yang didapatkan tidak spesifik. Karena
pada  awalnya  produk  atau  jasa  yang  diinginkan  tidak  begitu  jelas,  sehingga  setiap
individu/departemen  yang  terlibat  tidak  tahu  persis  hasil  apa  yang  diinginkan  sebagai
keluaran  dari  suatu  proyek  aplikasi  e-Government.  Disamping  itu  juga,  manfaat  yang
seharusnya didapatkan oleh masyarakat (users) secara signifikan tidak dapat dipenuhi.

- Lack political support
Dukungan secara politik sangat mempengaruhi berhasil-tidaknya suatu penerapan aplikasi
sistem informasi. Pada kenyataannya suasana politik, terutama yang berkaitan dengan:
dukungan dan alokasi anggaran, yang lemah dalam setiap rencana penerapan sistem
informasi.

- Lack of awareness
Kurangnya  kepedulian  terhadap  keberhasilan  e-Government.  Pemimpin  yang  bertanggung
jawab  dalam  penerapan  e-Government  terkadang  kurang  memahami  kepentingan  dari
masing-masing  stakeholder  yang  ada  dan  tidak  mau  mencoba  melakukan  kolaborasi  agar
seluruh  perbedaan  kepentingan  yang  dimaksud  dapat  menuju  kepada  satu  arah  pencapaian
visi dan misi e-Government (konvergensi). Setiap pemimpin yang bertanggung jawab dalam
pengembangan  e-Government  harus  memahami  bahwa  pihak-pihak  yang  dianggap  sebagai
stakeholder  utama  dalam  proyek  e-Government  antara  lain:  pemerintah  (lembaga  terkait
dengan  seluruh  perangkat  manajemen  dan  karyawannya),  sektor  swasta,  masyarakat,
lembaga-lembaga  swadaya  masyarakat,  perusahaan,  dan  lain  sebagainya.  Terlepas  dari
bermacam ragamnya stakehoder yang ada, yang sering terlupakan bahwa pada akhirnya yang
akan  merasakan  manfaat  atau  berhasil  tidaknya  e-Government  yang  dilaksanakan  adalah
pelanggan.

- Lack leadership
Faktor kepemimpinan biasanya melekat pada setiap orang yang bertanggung jawab sebagai
pemimpin dari penyelenggaraan suatu penerapan sistem informasi. Namun masih banyak
kelemahan dalam hal mengelola:
  Beragam tekanan politik yang terjadi terhadap penerapan aplikasi e-Government baik
dari kalangan yang optimis maupun yang pesimis; 
  Kurangnya  sumber  daya  yang  dibutuhkan,  seperti  misalnya  sumber  daya  manusia,
finansial, informasi, peralatan, fasilitas, dan
  Sejumlah kepentingan dari berbagai kalangan (stakeholders) terhadap e-Government
yang sedang atau akan dilaksanakan.


3. METODOLOGI

  Kurangnya  sumber  daya  yang  dibutuhkan,  seperti  misalnya  sumber  daya  manusia,
finansial, informasi, peralatan, fasilitas, dan
  Sejumlah kepentingan dari berbagai kalangan (stakeholders) terhadap e-Government
yang sedang atau akan dilaksanakan.

3. METODOLOGI

1.  Identifikasi masalah
Pada  tahap  ini  dilakukan  identifikasi  terhadap  permasalahan  yang  ada.  Dari
permasalahan  tersebut  akan  dicoba  dibuat  hipotesis,  kemudian  dilakukan  penelitian
dan  uji  coba  untuk  membuktikan  hipotesis  tersebut.  Permasalahan  yang  telah
diidentifikasi  sampai  saat  ini  dapat  dilihat  pada  bagian  perumusan  masalah.
Sedangkan hipotesis penelitian dapat dilihat pada bagian hipotesis dan manfaat diatas.

2.  Pengumpulan data dan sumber pendukung (literatur)
Pengumpulan  literatur  yang  mendukung  penelitian  dilakukan  pada  tahap  ini. 
Literatur‐literatur  diambil  dari  penelitian‐penelitian  sebelumnya  maupun  dari 
jurnal‐jurnal ilmiah, baik dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu Literatur 
yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah tulisan mengenai E­Government 
yang  ditulis  oleh  Hasibuan  [HAS01].  Sedangkan  literatur  lainnya  berkaitan 
dengan  E­Governmen  dan  khususnya  mengenai  kependudukan,  seperti  “Grand 
Design Sistem Informasi KPU”, “National IT Framework”, “Strategi E­Government” 
di  Amerika  Serikat  serta  penerapan  E‐Government  di  beberapa  negara  Eropa 
[BAP01, FOR02, VIL01, KPU02, WAT01, TAM01, FIS01, MOO00, AIC01, WIM01]. 
 Adapun data yang dipergunakan sebagai sampel untuk penelitian, akan diambil 
dari BPS yang merupakan data penduduk hasil sensus. Data propinsi DKI Jakarta 
akan digunakan untuk simulasi pada skala kecil. 

3.  Analisis Kebutuhan, Perancangan, dan Implementasi
Pada tahap ini akan dilakukan proses analisa kebutuhan sistem, perancangan 
serat 
implementasi terhadap sistem yang akan dikembangkan. Hal‐hal yang dilakukan 
meliputi:  
  Rancangan Arsitektur Sistem (Architecture System)
  Rancangan Format Data Masukan atau Form‐form Kependudukan
  Rancangan Relasi antar entitas (Entity Relationship) basis data
  Rancangan Diagram alur proses dan data sistem (Data Flow Diagram)\
  Rancangan Antar muka pemakai (User Interface)

4.  Analisis dan Uji Coba Sistem
Setelah  dilakukan  perancangan  dan  sistem  diimplementasikan,  kemudian  akan 
dilakukan tahapan uji coba. Uji coba direncanakan dilakukan dalam dua tahap. 
Pertama  uji  coba  internal,  dimana  sistem  akan  diujicobakan  dalam  lingkungan 
terbatas dan sebagai tester‐nya adalah tim pengembang sendiri. Data‐data yang 
digunakan  pada  tahap  uji  coba  tersebut  merupakan  data  propinsi  DKI  Jakarta 
yang  diperoleh  dari  BPS.  Selanjutnya  dilakukan  integrasi  data  dari  beberapa 
propinsi.  Kemudian  pada  tahapan  kedua,  dilakukan  uji  coba  eksternal,  dimana 
sistem akan diuji cobakan pada salah satu instansi yang ada, misalnya kelurahan 
tertentu,  dan  sebagai  tester‐nya  adalah  pihak  dari  instansi  tersebut.  Setelah 
diujicobakan  maka  dilakukan  proses  analisa  kembali  apakah  sistem  yang 
dibangun  sesuai  dengan  kebutuhan,  untuk  kemudian  dilakukan  proses 
perbaikan. 

5.  Pembuatan Paket Sistem (Installer)
Setelah sistem diimplementasikan, dan diuji coba maka langkah  selanjutnya adalah
membuat  paket  installer  dari  sistem  tersebut  sehingga  sistem  dapat  digunakan  atau
diinstall di tempat lain dengan mudah. 
 Tahapan  3,  4  dan  5  merupakan  tahapan  yang  erat  kaitannya  dengan  pengembangan
perangkat lunak. Untuk pengembangan perangkat lunak tersebut, kami gunakan metodologi
FAST  yang  cukup  banyak  digunakan  dalam  pengembangan  suatu  aplikasi.  Adapun
tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut:

-  Investigasi awal: pada tahap ini ditentukan ruang lingkup dari proyek, batasan-batasan,
partisipan, biaya dan jadwal. Tahap ini bertujuan untuk menilai kelayakan dari proyek
tersebut.

-  Analisa:  pada  tahap  ini  dilakukan  analisa  permasalahan  baik  dari  segi  bisnis  dan
teknologi, yaitu dengan mengidentifikasi permasalahan dan sebab-akibatnya. Dari tahap
analisa ini akan diperoleh peluang-peluang yang mungkin dan juga arahan. Beberapa
hal  yang  dilakukan  dalam  tahap  ini  antara  lain:  studi  ruang  lingkup  permasalahan,
analisa masalah dan peluang, analisa proses bisnis, serta penyajian temuan-temuan dan
rekomendasi.

-  Analisa kebutuhan: Pada tahap ini dilakukan analisa kebutuhan dari sistem yang akan
dibuat, yang meliputi tujuan pengembangan sistem dan prioritas-prioritas requirements
sehingga menghasilkan suatu pernyataan business requirements system.

-  Analisa  keputusan:  pada  tahap  ini  dilakukan  analisa  mengenai  solusi  teknis  yang
diperkirakan bisa mengatasi permasalahan sekaligus memenuhi business requirements.
Hal tersebut akan digunakan untuk merancang dan mengimplementasikan sistem yang
memenuhi segala requirements tersebut.

-  Perancangan:  pada  tahap  ini  dilakukan  perancangan  sistem  dari  segi  teknologi.  Hasil
tahap ini adalah berupa model data, model proses, dan model antar muka. 

-  Konstruksi:  pada  tahap  ini  akan  dilakukan  konstruksi  sistem,  yang  terdiri  dari
konstruksi basis data dan antar muka serta uji coba terhadap sistem. Tahap konstruksi
menghasilkan aplikasi yang siap dijalankan dan memenuhi semua kebutuhan yang ingin
dicapai.

-  Implementasi/operasionalisasi:  tahap  ini  nantinya  akan  dijalankan  oleh  pemakai  dari
aplikasi yang dikembangkan.

Copyright @ 2013 Yudith's Blog. Designed by Templateism | MyBloggerLab