Setahun yang lalu. Pada saat itu,
saya bersama paman saya dan anaknya paman saya sedang duduk sambil
berbincang-bincang di bangku taman. Paman saya adalah kakak dari ayah saya.
Paman saya sudah berumur cukup tua, dan anaknya, seumuran dengan saya. Ketika
paman saya sedang bercerita hinggap seekor burung kutilang di hadapan kami.
Paman saya bertanya kepada anaknya,
“Itu apa?”
Kemudian anaknya menjawab, “Itu
burung kutilang”
Paman saya bertanya lagi “Itu apa?”
Anaknya menjawab “Udah Rudi bilang
itu burung kutilang!”
Saya hanya terdiam mendengar
percakapan mereka. Kemudian paman saya mengulang lagi pertanyaan yang sama. “Itu
apa?”
Anaknya menjawab dengan nada jengkel “Burung kutilang papa.
BURUNG K-U-T-I-L-A-N-G !”
Paman saya terus bertanya lagi, “Itu
apa?
Anaknya menjawab dengan semakin
jengkel dan nada marah, ”Papa kenapa sih! Rudi udah bilang berkali – kali itu
tuh burung kutilang! Papa gak ngerti juga!”
Kemudian paman saya lekas berdiri
hendak pergi.
Saya tidak mengerti kenapa paman saya
menanyakan hal yang sama berulang-ulang kepada anaknya hingga membuatnya
anaknya menjadi kesal. Lalu saya bertanya kepada paman saya, “Aki mau kemana?”
Paman saya tidak menjawab pertanyaan
saya, dan anaknya pun hanya diam saja melihat ayahnya pergi. Kemudian paman
saya pergi hendak masuk ke dalam rumah, meninggalkan saya berdua dengan
anaknya. Beberapa saat kemudian, Paman saya kembali dengan membawa buku hariannya, membuka
halaman buku, menyerahkan kepada anaknya dan menyuruh anaknya untuk membacanya,
sedangkan saya disuruh untuk mendengarkan.
Paman saya berkata “Rudi, baca yang
keras. Yusuf, kamu dengerin aja ya”
Kemudian anaknya membaca buku harian
ayahnya,
“Hari ini putra ku yang baru aja
berumur 3 tahun, sedang duduk di bangku taman bersamaku. Kemudian seekor burung
kutilang datang dan hinggap di depan kita berdua, anak ku bertanya 21 kali “Papa,
itu apa?” aku pun senantiasa menjawab 21 kali bahwa itu adalah… seekor burung
kutilang. Aku peluk dia setiap kali dia menanyakan hal yang sama, berulang kali
tanpa marah sedikitpun aku berikan kasih sayang padanya.”
Barulah anaknya tersadar akan
perbuatannya, dan saya mulai memahami maksud paman saya. Kemudian Rudi mencium dan memeluk ayahnya yang
juga paman saya. Paman saya pun merangkul saya untuk turut serta dalam suasana
yang sangat berkesan itu, sehingga kamipun saling berangkulan.
***
Terkadang
apa yang kita ucapkan dan kita lakukan terhadap Ayah dan Ibu kita, tanpa sadar
kita menyakiti mereka. Pada saat mereka meminta tolong kepada kita, misalnya
menyuruh kita untuk membeli sesuatu di warung, kita tidak segera melakukannya,
menundanya dengan berkata “ Ah… nanti saja” atau bahkan menolaknya, dengan
berbagai alasan, misalnya sedang asyik menonton televisi, bermain komputer,
mengobrol dengan teman, sibuk mengerjakan tugas, atau berkata dengan terus
terang “Malas ah…”. Hal seperti itu pasti kita pernah mengalaminya. Padahal
berkata “Ah..” saja, kepada orang tua sudah termasuk dosa besar, kurang lebih
dosanya hampir sama dengan memakan daging babi, karena sudah melanggar Firman
Allah Swt. khususnya dalam Surat Al Isra ayat 17, apalagi berkata kasar, tentu
hal itu dosanya lebih besar.
Seperti pengalaman saya diatas, tentang
paman saya, seorang ayah yang bertanya kepada anaknya berulang – ulang
pertanyaan yang sama, kemudian membuat anaknya kesal karena menanyakan hal yang
sama berulang – ulang. Kenyataannya, kita pun seperti itu, pada saat ayah atau
ibu kita bertanya tentang kegiatan kita di sekolah, di kampus, atau di kantor,
karena kita sudah terlalu lelah setelah seharian beraktifitas, kita pun menjawabnya
dengan seperlunya saja. Bila ditanyakan yang lebih detail, apalagi bila sedang
ada masalah ditempat kita beraktifitas, kita mungkin menjawab dengan sedikit kesal
atau bahkan yang lebih parah kita justru marah kepada mereka. Padahal mereka
ingin menunjukkan perhatiannya kepada kita.
Jauh ke belakang pada zaman Rasulullah
Saw. ada sebuah kisah tentang al Qomah. Kisah tentang seorang anak yang dulunya
sangat berbakti terhadap ibunya, namun setelah ia menikah, ia lebih memilih
berbakti hanya kepada istrinya, dan mengabaikan ibunya, sehingga sang Ibu
merasa sakit hati, dan kemudian sangat membenci al Qomah. Namun pada saat al
Qomah mengalami sakaratul maut, sang Ibu tidak ingin memaafkan anaknya,
kemudian Rasulullah memerintahkan agar mayat al Qomah hendak dibakar. Kemudian
terlintaslah kenangan semasa AlQomah masih kecil yang dirawatnya, sehingga
membuatnya tak tega bila mayat anaknya hendak dibakar. Karena rasa sayang
seorang ibu yang amat dalam terhadap anaknya walaupun telah di kecewakan,
kemudian ibunya memaafkannya sehingga mayat alQomah tidak jadi dibakar. Dan
akhirnya Al Qomah bisa meninggal dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Sungguh
kasih sayang Ibu yang tiada tara.
Ayah dan ibu kita, mereka yang telah
yang telah melahirkan, membesarkan, merawat, serta mendidik kita dengan penuh
kasih sayang yang tak terhingga kepada kita. Tetapi saat kita dewasa, kita merasa
sudah mampu untuk menjalani kehidupan secara mandiri, kita malah berbuat
sebaliknya terhadap mereka, kita sibuk dengan urusan kita sendiri. Saya pernah
menemukan ada seorang ayah sedang kritis saat malam Idul Fitri, ayahnya
menanyakan dimana anak sulungnya, karena ada sesuatu yang ingin disampaikan
kepada anaknya sebelum ia meninggal. Ternyata anaknya sedang asyik bersama
teman - temannya merayakan malam Idul
Fitri dengan Takbiran keliling kota semalaman. Setelah paginya usai shalat Idul
fitri ayahnya sudah tiada, dan saat itu dia baru menyesali perbuatannya.
Apakah untuk berbuat baik kepada
orang tua, kita harus menunggu saat kita menyesali bahwa tidak ada kesempatan
lagi untuk berbuat baik kepada mereka setelah mereka tiada?. Mungkin kita hanya
bisa mendoakannya, tidak lebih dari itu. Apakah kita mau menunggu saat itu
tiba? Saat tidak ada lagi yang menjadi tempat curahan hati kita, saat tidak ada
lagi yang menyayangi kita dengan sepenuh hati tanpa pamrih, saat tidak ada lagi
yang menghapus air mata kita. Pada waktu kita masih anak – anak, saat kita
menangis tentu saja mereka yang menghapus air mata kita, kemudian menghibur
kita dengan memberikan mainan yang kita sukai. Namun, ketika mereka sudah
tiada, tidak ada lagi yang menghapus air mata kita. Pada saat mereka masih
hidup pun, berbuat baik kepada mereka saja tidak mudah untuk melakukannya,
apalagi membalas semua yang telah mereka berikan untuk kita, sungguh berapa
banyak harta yang kita punya saat sukses bila semua itu digunakan untuk
membayar jasa mereka, semua itu tidak akan bisa terbayar. Karena jasa mereka
sangat tidak ternilai harganya, dan tidak dapat di bayar dengan apapun.
Ada pepatah, “Kasih sayang orang tua
itu seperti hujan, sangat banyak yang turun kebawah, namun sangat sedikit yang
memantul kembali keatas.” Pepatah itu terbukti sesuai dengan kenyataan. Seperti
air hujan, kasih sayang orang tua selalu mengarah kebawah untuk anaknya,
kemudian saat anaknya sudah mempunyai anak, kasih sayang anaknya juga mengarah
kebawah untuk cucu, dan begitu seterusnya. Oleh karena itu, selayaknya dimasa
tua orang tua kita, berbuat baik kepada mereka dengan mencukupi kebutuhan
mereka, memberikan fasilitas untuk mereka, dan merawat mereka dengan penuh
kasih sayang agar mereka bisa menikmati masa tua mereka dengan tenang dan akhir
hidup mereka yang bahagia, seperti yang mereka lakukan kepada kita waktu kita
masih kecil, bagai air hujan yang memantulkan kembali keatas, walaupun tidak
sebanyak air yang turun.