“Itu apa?”

Jumat, 22 Maret 2013

Setahun yang lalu. Pada saat itu, saya bersama paman saya dan anaknya paman saya sedang duduk sambil berbincang-bincang di bangku taman. Paman saya adalah kakak dari ayah saya. Paman saya sudah berumur cukup tua, dan anaknya, seumuran dengan saya. Ketika paman saya sedang bercerita hinggap seekor burung kutilang di hadapan kami.
Paman saya bertanya kepada anaknya, “Itu apa?”                         
Kemudian anaknya menjawab, “Itu burung kutilang”
Paman saya bertanya lagi “Itu apa?”
Anaknya menjawab “Udah Rudi bilang itu burung kutilang!”
Saya hanya terdiam mendengar percakapan mereka. Kemudian paman saya mengulang lagi pertanyaan yang sama. “Itu apa?”
Anaknya menjawab  dengan nada jengkel “Burung kutilang papa. BURUNG  K-U-T-I-L-A-N-G !”
Paman saya terus bertanya lagi, “Itu apa?                    
Anaknya menjawab dengan semakin jengkel dan nada marah, ”Papa kenapa sih! Rudi udah bilang berkali – kali itu tuh burung kutilang! Papa gak ngerti juga!”
Kemudian paman saya lekas berdiri hendak pergi.
Saya tidak mengerti kenapa paman saya menanyakan hal yang sama berulang-ulang kepada anaknya hingga membuatnya anaknya menjadi kesal. Lalu saya bertanya kepada paman saya, “Aki mau kemana?”
Paman saya tidak menjawab pertanyaan saya, dan anaknya pun hanya diam saja melihat ayahnya pergi. Kemudian paman saya pergi hendak masuk ke dalam rumah, meninggalkan saya berdua dengan anaknya. Beberapa saat kemudian, Paman saya  kembali dengan membawa buku hariannya, membuka halaman buku, menyerahkan kepada anaknya dan menyuruh anaknya untuk membacanya, sedangkan saya disuruh untuk mendengarkan.
Paman saya berkata “Rudi, baca yang keras. Yusuf, kamu dengerin aja ya”
Kemudian anaknya membaca buku harian ayahnya,
“Hari ini putra ku yang baru aja berumur 3 tahun, sedang duduk di bangku taman bersamaku. Kemudian seekor burung kutilang datang dan hinggap di depan kita berdua, anak ku bertanya 21 kali “Papa, itu apa?” aku pun senantiasa menjawab 21 kali bahwa itu adalah… seekor burung kutilang. Aku peluk dia setiap kali dia menanyakan hal yang sama, berulang kali tanpa marah sedikitpun aku berikan kasih sayang padanya.”
Barulah anaknya tersadar akan perbuatannya, dan saya mulai memahami maksud paman saya.  Kemudian Rudi mencium dan memeluk ayahnya yang juga paman saya. Paman saya pun merangkul saya untuk turut serta dalam suasana yang sangat berkesan itu, sehingga kamipun saling berangkulan.
***

           
            Terkadang apa yang kita ucapkan dan kita lakukan terhadap Ayah dan Ibu kita, tanpa sadar kita menyakiti mereka. Pada saat mereka meminta tolong kepada kita, misalnya menyuruh kita untuk membeli sesuatu di warung, kita tidak segera melakukannya, menundanya dengan berkata “ Ah… nanti saja” atau bahkan menolaknya, dengan berbagai alasan, misalnya sedang asyik menonton televisi, bermain komputer, mengobrol dengan teman, sibuk mengerjakan tugas, atau berkata dengan terus terang “Malas ah…”. Hal seperti itu pasti kita pernah mengalaminya. Padahal berkata “Ah..” saja, kepada orang tua sudah termasuk dosa besar, kurang lebih dosanya hampir sama dengan memakan daging babi, karena sudah melanggar Firman Allah Swt. khususnya dalam Surat Al Isra ayat 17, apalagi berkata kasar, tentu hal itu dosanya lebih besar.   
Seperti pengalaman saya diatas, tentang paman saya, seorang ayah yang bertanya kepada anaknya berulang – ulang pertanyaan yang sama, kemudian membuat anaknya kesal karena menanyakan hal yang sama berulang – ulang. Kenyataannya, kita pun seperti itu, pada saat ayah atau ibu kita bertanya tentang kegiatan kita di sekolah, di kampus, atau di kantor, karena kita sudah terlalu lelah setelah seharian beraktifitas, kita pun menjawabnya dengan seperlunya saja. Bila ditanyakan yang lebih detail, apalagi bila sedang ada masalah ditempat kita beraktifitas, kita mungkin menjawab dengan sedikit kesal atau bahkan yang lebih parah kita justru marah kepada mereka. Padahal mereka ingin menunjukkan perhatiannya kepada kita.
Jauh ke belakang pada zaman Rasulullah Saw. ada sebuah kisah tentang al Qomah. Kisah tentang seorang anak yang dulunya sangat berbakti terhadap ibunya, namun setelah ia menikah, ia lebih memilih berbakti hanya kepada istrinya, dan mengabaikan ibunya, sehingga sang Ibu merasa sakit hati, dan kemudian sangat membenci al Qomah. Namun pada saat al Qomah mengalami sakaratul maut, sang Ibu tidak ingin memaafkan anaknya, kemudian Rasulullah memerintahkan agar mayat al Qomah hendak dibakar. Kemudian terlintaslah kenangan semasa AlQomah masih kecil yang dirawatnya, sehingga membuatnya tak tega bila mayat anaknya hendak dibakar. Karena rasa sayang seorang ibu yang amat dalam terhadap anaknya walaupun telah di kecewakan, kemudian ibunya memaafkannya sehingga mayat alQomah tidak jadi dibakar. Dan akhirnya Al Qomah bisa meninggal dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Sungguh kasih sayang Ibu yang tiada tara.
Ayah dan ibu kita, mereka yang telah yang telah melahirkan, membesarkan, merawat, serta mendidik kita dengan penuh kasih sayang yang tak terhingga kepada kita. Tetapi saat kita dewasa, kita merasa sudah mampu untuk menjalani kehidupan secara mandiri, kita malah berbuat sebaliknya terhadap mereka, kita sibuk dengan urusan kita sendiri. Saya pernah menemukan ada seorang ayah sedang kritis saat malam Idul Fitri, ayahnya menanyakan dimana anak sulungnya, karena ada sesuatu yang ingin disampaikan kepada anaknya sebelum ia meninggal. Ternyata anaknya sedang asyik bersama teman -  temannya merayakan malam Idul Fitri dengan Takbiran keliling kota semalaman. Setelah paginya usai shalat Idul fitri ayahnya sudah tiada, dan saat itu dia baru menyesali perbuatannya.
Apakah untuk berbuat baik kepada orang tua, kita harus menunggu saat kita menyesali bahwa tidak ada kesempatan lagi untuk berbuat baik kepada mereka setelah mereka tiada?. Mungkin kita hanya bisa mendoakannya, tidak lebih dari itu. Apakah kita mau menunggu saat itu tiba? Saat tidak ada lagi yang menjadi tempat curahan hati kita, saat tidak ada lagi yang menyayangi kita dengan sepenuh hati tanpa pamrih, saat tidak ada lagi yang menghapus air mata kita. Pada waktu kita masih anak – anak, saat kita menangis tentu saja mereka yang menghapus air mata kita, kemudian menghibur kita dengan memberikan mainan yang kita sukai. Namun, ketika mereka sudah tiada, tidak ada lagi yang menghapus air mata kita. Pada saat mereka masih hidup pun, berbuat baik kepada mereka saja tidak mudah untuk melakukannya, apalagi membalas semua yang telah mereka berikan untuk kita, sungguh berapa banyak harta yang kita punya saat sukses bila semua itu digunakan untuk membayar jasa mereka, semua itu tidak akan bisa terbayar. Karena jasa mereka sangat tidak ternilai harganya, dan tidak dapat di bayar dengan apapun.
Ada pepatah, “Kasih sayang orang tua itu seperti hujan, sangat banyak yang turun kebawah, namun sangat sedikit yang memantul kembali keatas.” Pepatah itu terbukti sesuai dengan kenyataan. Seperti air hujan, kasih sayang orang tua selalu mengarah kebawah untuk anaknya, kemudian saat anaknya sudah mempunyai anak, kasih sayang anaknya juga mengarah kebawah untuk cucu, dan begitu seterusnya. Oleh karena itu, selayaknya dimasa tua orang tua kita, berbuat baik kepada mereka dengan mencukupi kebutuhan mereka, memberikan fasilitas untuk mereka, dan merawat mereka dengan penuh kasih sayang agar mereka bisa menikmati masa tua mereka dengan tenang dan akhir hidup mereka yang bahagia, seperti yang mereka lakukan kepada kita waktu kita masih kecil, bagai air hujan yang memantulkan kembali keatas, walaupun tidak sebanyak air yang turun.

Copyright @ 2013 Yudith's Blog. Designed by Templateism | MyBloggerLab